Kamis, 22 September 2016

Bangsanya Para Penggusur (Saya TIDAK Bangga)!

Sebelum melanjutkan dengan isi otak yang mendesak ingin dimunculkan, saya ingin menyampaikan dukacita yang sedalam-dalamnya atas terjadinya banjir bandang di Garut, Jawa Barat. Semoga saudara-saudariku yang berpulang ke Sang Pencipta karena musibah ini bisa diterima di sisi-Nya, bagi yang lain bisa diberikan kesabaran, ketabahan, dan segera diganti rezekinya dengan rezeki baru yang lebih baik dan lebih berkah.

Dan sekarang, saya jadi ingin mengomentari blog ini. Saking tak tentunya terbit, mendadak saya ingin memutus rantai kemalasan memperbaharui blog ini sejenak. Inspirasinya juga masih segar, dipicu berita Gubernur DKI Jakarta yang memarahi Walikota Jakarta Barat karena salah menggusur rumah warganya.

Bahan kampanye? Mulai berpolitik lewat Blog?

Bukan, bukan, bukan sisi itu yang ingin saya sentuh kali ini. Sebabnya, fokus utama saya adalah pada komentar-komentarnya, yang meneriakkan bahwa Gubernur DKI gemar menggusur rumah, Dewa Gusur, tanpa memikirkan kesulitan yang digusur rumahnya. Entah apakah alasan penggusurannya benar atau tidak, tetap saja dia tukang gusur yang lalim. Penguasa yang semena-mena menggusur "wong cilik" rakyat kecil rakyat jelata, dan itu JAHAT, kaya Rangga #eaaa #randomthoughts.

Saya tidak ingin mengomentari masalah BENAR atau SALAH, apalagi yang dikomentari Gubernur DKI saat ini. Kalau saya bilang beliau BENAR, dianggap Teman Ahok, kalau saya bilang beliau SALAH, nanti saya dianggap Teman Amien lagi #eaaa #lagi.

Komentar saya sih sederhana: Jangankan Gubernur, sesama kita saja bisa seenaknya MAIN GUSUR kok.

Apa buktinya? Ini ada beberapa poin yang bisa jadi membuktikan bahwa kita pun harus rela dijuluki TUKANG GUSUR LALIM, karena kejadian penggusuran yang saya sebutkan ini rata-rata termasuk pelanggaran peraturan dan vandalisme.

  1. Pejalan kaki digusur dari trotoar oleh pedagang kaki lima dan motor tukang ojek yang bertahta di sana, akhirnya harus berjalan di area lalu-lalangnya kendaraan.
  2. Area untuk berjalannya lalu-lintas, sering digusur oleh Pasar, bisa sampai disisakan hanya kurang dari separuhnya, sehingga arus lalu-lintas jadi kurang lancar.
  3. Tiang penyusun pagar pembatas jalan digusur (dihilangkan, dibengkokkan, digergaji dll) dari tempatnya oleh penyeberang jalan yang tidak mau jauh-jauh menyeberang melalui jembatan penyeberangan.
  4. Penyeberang jalan digusur dari zebra cross oleh para pengendara kendaraan bermotor yang gagah berhenti tepat di atasnya.
  5. Bersihnya cat tembok digusur oleh warna-warni coretan cat semprot.
  6. Saat mengendarai sepeda motor, banyak yang sengaja menggusur helm dari atas kepalanya, bisa diletakkan di stang, di badan motor, atau disimpan rapi di rumah.
  7. TNKB atau Plat Nomor sengaja digusur dari tempatnya dipasang, sehingga kendaraan bermotor (biasanya sepeda motor) dikendarai tanpa Plat Nomor (biasanya di bagian belakang).
  8. Kabel transmisi listrik dan kabel telepon yang menjadi objek gusuran beberapa pihak dari tiangnya.
  9. Tiang listrik dan tiang telepon yang kadang-kadang juga digusur dari tempatnya terpancang, disapu bersih bersama dengan kabelnya di poin nomor 8 tadi.
Masih ada banyak lagi seharusnya, tapi rasanya cukup kalau hanya untuk tulisan ini. Setidaknya, cukup untuk membuktikan, bahwa kita tidak harus memiliki jabatan tinggi untuk bisa dilabeli sebagai TUKANG GUSUR!

Mengaku atau tidak?

Kamis, 03 Januari 2013

Dawai Kebahagiaan

Ah, judulnya berlebihan kayanya, ahahahaha.....

Mohon dimaklumi kalau saya terasa "meluap-luap" pada postingan kali ini. Istri saya sendiri sudah mafhum kalau saya bisa sedemikian berbinar dan "lupa malu" kalau sudah bertemu dengan sesosok manusia Indonesia yang sama-sama suka makan nasi, sama-sama butuh ke kamar mandi dan ke kamar tidur setiap harinya, tapi karena dedikasi dan kemampuannya, saya tahbiskan beliau di dalam posisi "Maestro", bahkan "Virtuoso", dan silakan mendebatnya kawan-kawan pembaca, karena posisi itu murni hanya ada di dalam hati saya, amat sangat subyektif saya sekali, dan mau didebat seperti apapun tetap saja tidak akan saya ubah.

Mas Jubing Kristianto, yang situsnya bisa kawan-kawan temukan pada tautan ini, adalah sosok yang tadi saya sebutkan. Kalau mau lihat bagaimana BODOHNYA wajah saya saat mendapat kesempatan bertemu dengan beliau, silakan lihat di foto berikut ini. Silakan scroll langsung ke tulisan di bawahnya apabila tidak ingin melihat fotonya yah :p

Kesampaian difoto bersama Mas Jubing Kristianto

Secara singkat, Mas Jubing Kristianto adalah seorang gitaris yang berasal dari Semarang (kalau tidak salah), pernah bekerja sebagai wartawan selama 13 tahun (berdasarkan penuturannya sendiri), dan saat ini begitu menikmati perannya sebagai musisi, guru musik, dan endorsee salah satu produk alat musik di dunia, khususnya di Indonesia.

Saya berkenalan dengan karya-karya beliau kira-kira saat beliau telah menelurkan album pertama, Becak Fantasy di tahun 2007. Dua lagu yang langsung menarik perhatian saya adalah Becak Fantasy dan Burung Kakatua. Bagaimana permainan pada satu gitar bisa membuat lagu-lagu tersebut terasa "utuh" dan kadang terasa "ramai" itulah yang benar-benar membuat saya benar-benar menyukai karya beliau. Plus, tidak dipungkiri bahwa hasil modifikasi yang edan-edanan terhadap lagu anak-anak itu selalu dan selalu membuat saya ingin "ngulik" gitar, walaupun tentunya sebatas kemampuan saya yang hanya layak untuk konsumsi pribadi saya sendiri, hehehe.

Album kedua, ketiga, dan keempat berhasil saya koleksi selama rentang waktu 2010 - 2012, cukup terlambat sebenarnya, namun saya rasa lumayanlah, daripada saya tetap bertahan mendengarkan lagu-lagu beliau dengan ditemani rasa bersalah karena mendapatkannya dari unduh gratis di internet, kan lebih baik saya sekalian mengoleksi CD karya beliau, ya to? Dan kepada kawan-kawan pembaca, tulisan ini bukan bermaksud pamer ya. Silakan ditafsirkan masing-masing, yang jelas maksudnya bukan pamer. Mungkin hanya bermaksud sedikit menghimbau.

Dan akhir bulan Oktober 2012, di salah satu pusat perbelanjaan modern di Jakarta, saat saya sedang berjalan-jalan dengan istri tercinta, datanglah kesempatan itu. Kesempatan untuk melihat sebagian pertunjukan beliau dengan mata kepala saya sendiri. Kesempatan meminta beliau untuk memainkan Bohemian Rhapsody. Kesempatan meminta foto bersama beliau. Kesempatan memperlihatkan wajah bodoh saya kepada istri saya, yang katanya selama pertunjukan, senyum saya tidak pernah hilang, sampai dia takut gigi saya kering. Kesempatan mendeskripsikan beliau secara singkat, saat saya ditanya oleh penonton di sebelah saya, "Mas, itu siapa? Terkenal ya? Lebih bagus mana sama Ian Antono?"

Dan di saat itu, saya menyaksikan kebesaran beliau. Kebesaran yang tidak ditunjukkan oleh jumlah penonton videonya di Youtube. Kebesaran yang tidak ditunjukkan oleh perilaku angkuh dan No Comment. Kebesaran yang diusung oleh seorang pecinta kesederhanaan, yang tujuannya berkarya pun sederhana.

Karena cinta, pada gitar, pada musik, dan pada kedamaian.

Rabu, 02 Januari 2013

Serempetan Periode Baru

Tak seperti tahun yang lalu, akhir tahun ini cukup banyak hari libur yang dapat saya nikmati senikmat-nikmatnya, sepanjang-panjangnya, walaupun tanpa tambahan cuti. Sekalipun beras dan telur di rumah tak juga berganti dengan kentang dan daging sapi has dalam, rasanya tetap bahagia, sebahagia-bahagianya.



Pendulum jam dinding yang tak lagi berayun karena sering rusak tetap mengiringi hari demi hari yang saya rajut bersama orang-orang tersayang. Keluarga, istri (saya bedakan, karena nyatanya kami masih berselimut jarak yang lumayan), sahabat, teman, silih berganti hadir dan menghadirkan kisah dan kisah lagi, sebagian abadi, sebagian rapuh dan hilang dihembus angin yang baru. Percakapan, tepuk sapa hangat, dan bunyi notifikasi yang datang membanjiri telepon genggam saya rasanya harus dapat saya syukuri seluas-luasnya, karena ia memberikan saya hubungan, yang karenanya sepi ini tak terlalu terasa.

Impian dan cita-cita, jamak ditancapkan tonggaknya pada setiap awal periode, di manapun periode itu dimulai. Penilaian dan evaluasi selalu mengakhiri periode sebelumnya, dengan nilai merah atau hitam yang seringkali muncul karena belas kasihan sang evaluator, yaitu diri kita sendiri. Pada akhirnya, kitalah yang selalu menghakimi diri kita sendiri, yang hasil evaluasinya paling kita percaya, seberapapun absurdnya di mata orang lain. Karena selapang apapun kita menerima pendapat orang, pada akhirnya komparasi dengan idealisme diri sendirilah yang menang.

Perjalanan, atau pelarian, yang manapun yang kita pilih, selalu memasuki babak baru pada setiap tarikan dan hembusan nafas kita, pada setiap sayatan yang dibuat sang waktu dalam dimensi keempat dunia. Berjalan atau berlari, menuju atau menjauhi, adalah pilihan yang telah dibebaskan-Nya untuk kita pilih, untuk kemudian kembali Dia bebaskan untuk dilakukan atau tidak. Dengan sedemikian banyak dan dominannya pilihan yang kita buat dalam setiap waktu hidup kita, layakkah kita menimpakan kesalahan kepada kambing (seringnya yang hitam), waktu, orang lain, atau Tuhan?

Saya mencoba untuk berpikir dan berjalan dengan sederhana, yang nyatanya, dengan sederet embel-embel Nilai dan Predikat yang saya ingin raih, ternyata amat sulit dilakukan. Lebih mudah untuk ses`at memanjakan diri saya dengan Kebahagiaan Picisan, tanpa mau mengakui bahwa sebenarnya, seumur hidup saya, saya selalu dan selalu menjalani Penderitaan Agung.

Dan bila hasilnya Picik, jelaslah, walaupun saya tak mengakuinya, bahwa itu adalah hasil dari kemanjaan dan kesalahan saya, bukan dia, dia, atau Dia.

Selamat memulai periode demi periode yang baru, semoga kita tak tersesat dalam pemakluman dan penyesatan diri sendiri.

Sabtu, 29 Desember 2012

My Greatest Achievement

Sudah di penghujung tahun 2012, dan baru beberapa saat yang lalu saya sadar, bahwa sekali pun belum pernah ada tulisan yang mengungkapkan rasa syukur saya yang amat besar dan dalam terhadap satu peristiwa mahapenting di dalam hidup saya. Tentu bukannya saya kurang bersyukur (agak ngeles, eh tapi bukan ngeles kok sebenarnya :D), malah mungkin saking saya terlalu bersyukur dan menghayati, saya jadi susah membagikannya dalam bentuk tulisan yang bisa jadi malah mengerdilkan rasa syukur tersebut.

Ehm...dimulai yuk, hehehe...

Berawal dari posting yang ini, lalu sedikit disinggung di sini, dan berlanjut ke situ, akhirnya baru berani saya umumkan di khalayak publik blog lama saya di posting yang INI. Ya, semua posting itu merujuk pada seonggok....eh....sebentuk manusia yang amat saya syukuri kehadirannya di dunia yang ruwet ini. Sosok yang cantik, kuat, dan amat penyayang, yang selalu membuat saya bersyukur setiap membuka mata di pagi hari, istri saya yang amat tercinta.


Wanita ini adalah (kalau ada yang belum tahu dan malas mencari tahu) teman seangkatan saya semasa SMP di Cilegon. Seingat saya, dari masa itu pun ukuran tubuhnya sud`h terbilang besar, bahkan lebih besar dari ukuran tubuh saya yang terbilang makmur gemah ripah lohjinawi. Dan karena memang bukan teman akrab di SMP, ingatan saya pun berhenti pada sebentuk foto hitam putih 3x4 yang tercetak sederhana di buku alumni SMP. Di sisi lain, ternyata dia mengingat saya di masa SMP lebih daripada saya mengingat dia. Dia ingat culun dan galaknya saya sebagai ketua kelas, dia ingat beberapa prestasi saya di masa itu, dia (sialnya) ingat juga beberapa teman wanita yang menjadi target gagal saya, dan yang terakhir, dia ingat juga saat saya pamit untuk melanjutkan pendidikan di daerah yang jauh dari Cilegon, sedangkan saya lupa kalau saya pernah pamit, hehehehe...

Bertemu lagi di tahun 2008, kami memutuskan untuk menjajaki hubungan yang lebih dekat, tanpa merencanakan dahulu di awal jangka waktunya. Hubungan jarak jauh antara Jakarta dan Malang pun tercipta, dan ternyata memakan waktu 4 tahun sebelum saya bisa bersanding dengannya, sah di mata Tuhan, Agama, dan Negara sebagai Suami Istri.


Tepat tanggal 16 Maret 2012, saya mengucapkan kalimat sakral itu, kalimat yang begitu berat saya rasakan, begitu membuat batin saya berdebar-debar dengan kecemasan, bahkan nyaris mengalahkan pegalnya duduk bersimpuh selama 45 menit!

"Saya terima nikahnya Widya P****** H******* binti *** ******* ******* ******* dengan maskawin tersebut, tunai!"

Sejak saat itu, nafas ini adalah nafasnya, tangan ini adalah tangannya, dan hati ini adalah hatinya. Saya sadari ketidaksempurnaan saya baik sebagai manusia maupun sebagai laki-laki, dan saya syukuri setiap hari keindahan hatinya yang mau menerima saya dan segala keterbatasan itu, yang selalu memperluas telaga kesabarannya setiap kali saya dirasanya belum dapat memenuhi keinginan tertentu, dan selalu mendampingi saya di setiap tarikan nafas saya, walaupun secara raga kami masih terpisah jauh.

Terima kasih untuk semuanya, Bunda, mudah-mudahan segalanya akan menjadi lebih indah lagi bagi keluarga kecil kita. Kita jelang bersama saatnya kita hidup bersama, dan semoga saat itu terwujud, kita tidak akan terpisah lagi hingga ajal menjemput.

I love you, hunny...

Kamis, 08 Desember 2011

Apakah saya Gay?

Apakah pria yang mengidolakan pria lain (tidak termasuk Nabi dan Rasul yah :D) dapat dikategorikan sebagai gay?

Nah lho, ada angin apa nih, kok tau-tau ada pertanyaan macam itu?

Well, tanpa menyebut nama dan tanpa petunjuk lain, saya termasuk salah seorang pria yang punya idola pria. Hmm, bukan sekelas Dewa Budjana (saya tunggu rilis albumnya lho Mas) atau Indra Lesmana (kalau yang ini saya sudah beli album terbarunya :p), ataupun sekelas Bung Tomo dan Ki Hajar Dewantara. Pria yang saya idolakan ini ternyata sesama teman juga, yang alhamdulillah dianugerahi Allah dengan beberapa hal yang saya idam-idamkan untuk dapat saya miliki. Bisa jadi kelebihan-kelebihan yang bikin saya mengidolakannya itu biasa di mata orang lain, tapi untuk saya sendiri, some of them are too good to be true, dan itulah sebabnya saya (masih) mengidolakan dia.

*Errmm....kalau ada yang mau stop baca di sini, silakan, tapi jangan sebar opini yang aneh-aneh ya, hehehe.

Seorang teman ini, sebut saja Tarmin (tentu bukan nama sebenarnya, saya pilih karena kesannya Indonesia banget), merupakan putra yang dipercaya lahir dari orangtua yang berpunya. Hal ini dapat terlihat dari tampilan rumah sang orangtua yang makblaaarr besarnya, kendaraan roda dua dan roda empat yang tersedia di garasi (saya nggak tau mereka punya yang ber-roda satu atau tidak), dan dari kenyataan bahwa si Tarmin ini tidak pernah menunggak atau minta keringanan iuran pendidikan. 

Yang bikin saya angkat jempol (pertama), Tarmin amat jarang tampil layaknya SPG produk fashion apapun. Yang saya ingat adalah celana panjang kain non jeans dan kemeja atau kaus berkerah yang rapi. Mobil? Sesekali saja dipakai (amat jarang), seringnya sepeda motor. Jempol berikut datang karena tutur katanya yang tidak pernah tajam, seberat apapun konflik yang dihadapi. Yang ini memang tanda-tanda orang berpendidikan (dalam arti luas), bukan sekedar orang yang bersekolah.

Jempol ketiga dan keempat saya berikan sekaligus untuk Tarmin, karena adanya kecerdasan otak yang diiringi dengan kecerdasan iman dan kecerdasan hati. Ibadahnya terjaga baik dan benar, namun masih tetap gaul. Tidak cepat menghakimi, kalaupun ada opini yang seharusnya "nyelekit" ternyata bisa disampaikan dengan cara yang santun dan "nyaris" halus. Nilai pelajarannya pun bagus, walaupun memang bukan yang terbaik. Satu jempol lagi (aduh, saya pinjam jempol siapa nih...) saya berikan untuk seluruh usaha (atau kebiasaan) yang dilakukannya agar tetap sehat. No smoking, joging rutin, dan latihan basket membuatnya salah satu orang yang paling prima kesehatannya di komunitas saya.

Begitu biasa kan? Tapi semua kelebihan tersebut rasanya amat wajar kalau diinginkan oleh semua orang, baik pria atau wanita. Tentu saja ada kekurangan, namun bukankah kita diharuskan melihat kualitas yang baik agar dapat kita ikuti daripada kekurangan untuk kita cela?

Anyway, dengan segudang kelebihan yang sungguh mati membuat saya ingin memilikinya itu, ada syukur yang memercik bahwa ternyata ada juga kelebihan-kelebihan saya yang membuatnya terinspirasi. Tentunya tidak harus disikapi dengan berlebihan, namun boleh dong saya senang sedikit, hehehe. Pada akhirnya, kualitas diri kita ditentukan oleh semua usaha kita. Agar kita dinilai baik oleh orang lain, tentu kita harus lebih dulu bersikap baik kepada orang lain. Agar kita dinilai cerdas, tentu kita harus benar-benar cerdas. Agar kita dinilai ganteng, tentu kita harus berusaha tampil ganteng....nggg......kalau akhirnya tetap nggak ganteng, minimal dapat predikat rapi dan nggak jorok. Dan kalau mau dinilai sebagai orang alim, tentunya semua ibadah dan tingkah laku kita harus baik, bukan?

Dan pada akhirnya, saat si Tarmin ini menikah dengan perempuan baik-baik dan saya merasa senang plus sama sekali tidak mengurung diri di kamar dan menangis habis-habisan akibat menikahnya sang idola, hal ini pasti karena saya bukan gay, kan?

Kamis, 01 Desember 2011

Pentingkah? Mungkin tidak

Sejak bulan Oktober 2011, entah karena kena angin apa, saya memulai kebiasaan baru dalam mengonsumsi karya kreatif para musisi, baik musisi lokal maupun interlokal....eh internasional. Kalau dulu selalu mencari di situs-situs pengunggah lagu-lagu (yang tentunya gratis, hanya bayar biaya internet saja), namun kali ini saya berburu CD (dan DVD, rencananya) di toko-toko yang menyediakannya (dan tentunya tidak gratis).

Kenapa CD? Kenapa tidak kaset?

Alasannya karena peralatan elektronik untuk memainkan kaset di rumah sudah tidak berfungsi dengan baik. Memang bisa saja memperbaikinya, atau beli baru, namun karena peralatan untuk memutar CD dan DVD sudah ada, sepertinya lebih baik saya yang mengalah, membeli CD yang harganya lebih mahal daripada kaset.

Niat awalnya sih saya ingin menghapus semua file lagu hasil unduh gratis di semua media penyimpan saya, untuk kemudian saya gantikan dengan file-file baru hasil konversi saya sendiri dari CD atau DVD orisinilnya. Namun dengan cepat niat itu berubah, yaitu tetap mempertahankan file yang lama sambil menambahkan atau mengganti dengan file yang baru. Hal ini karena tidak semua lagu-lagu yang ada di media penyimpan saya dapat dengan mudah saya temui CD-nya di toko musik. Yah, sementara tambal sulam sambil perlahan-lahan memperbanyak koleksi album aslinya.

Terlambat?

Ya jelas terlambat, peraturan sudah diundangkan dari lama, saya baru-baru ini mencoba mematuhinya. Mudah-mudahan hal ini bisa mengurangi rasa bersalah yang saya rasakan setiap kali menikmati lagu-lagu yang saya dapatkan dengan cara mengunduh gratis itu.

Mahal?

Ya jelas mahal, apalagi kalau dibandingkan dengan predikat "gratis". CD musik paling murah yang saya ketahui berharga Rp 35.000 saat ini, itu pun biasanya untuk hasil karya musisi baru atau musisi yang musiknya kurang populis (analisis ngawur made in saya sendiri). Di koleksi saya yang mencakup harga tersebut adalah karya BIL Project, grup bentukan Ikang Fawzi, Eky Soekarno, dan Gilang Ramadhan. Yang lainnya rata-rata Rp 50.000 ke atas, yang di dalam koleksi saya mencakup karya-karya Jubing Kristianto (4 album), LLW (1 album), Komunitas Jazz Kemayoran (1 album), Kahitna (1 album). Nah kan, ketahuan deh baru sedikit.

Lalu, apa motivasi saya menuliskan hal-hal tak penting ini semua? Tak lain dan tak bukan hanya karena "ingin". Ingin menulis, ingin berbagi, ingin meletakkan pengingat bagi diri saya sendiri, dan syukur-syukur bisa menimbulkan keinginan teman-teman untuk memulai proses membeli kenikmatan, bukan mengunduh kenikmatan.

Lalu, apa motivasi saya mengisi blog ini pada jam kerja? Ah...kelu rasanya mencoba menjawab pertanyaan itu.

*ditemani musik fantastis besutan Indra Lesmana, Barry Likumahuwa, dan Sandy Winarta

Rabu, 30 November 2011